foto: Politicalfootball.com

Banyak alasan yang membuat Sir Alex Ferguson dirindukan. Wajahnya yang memerah saat marah, gerakan tubuh intimidatifnya terhadap wasit, kini tak lagi ditemukan di pinggir lapangan Old Trafford. Ketimbang meneror, Sir Alex kini lebih terlihat bijaksana dengan duduk di kursi kehormatan.

Kalau ada satu kata yang menggambarkan Sir Alex di Manchester United, itu tak lain adalah kejayaan. Sir Alex yang membuat The Red Devils begitu dominan di era Premier League. Semua gelar Premier League diraih United di masa Sir Alex.

Namun, tetap saja ada yang terasa kurang dari apa yang telah pria kelahiran Skotlandia, 31  Desember 1941 tersebut lakukan untuk United. Lagi-lagi jawabannya sama: kejayaan. Hingga tiga tahun selepas pensiunnya Sir Alex, United hanya meraih satu gelar dari kompetisi Piala FA.  Bahkan, setelah pensiunnya Sir Alex, United seolah memasuki masa-masa kegelapan.

Musim 2016/2017 ini, Wayne Rooney dan kolega tidak berkompetisi di Liga Champions. Ini karena pada akhir musim lalu, United hanya bertengger di peringkat kelima dengan meraih poin 66. Hasil ini sejatinya sama dengan Manchester City. Namun, The Citizens unggul dalam selisih gol. Padahal, Liga Champions bukan sekadar tambang uang, melainkan adu gengsi kesebelasan sarat prestasi.

Lantas, kejayaan macam apa yang tidak diturunkan Sir Alex?

Masalah di Tim Kepelatihan

Selama tiga musim, terdapat tiga nama yang pernah menukangi Manchester United. Angka ini tentu menjadi ironis mengingat tiga musim adalah waktu yang dibutuhkan Sir Alex untuk merengkuh trofi pertama (Piala FA) di awal kepelatihannya. Selain itu, ini membuat citra United sebagai kesebelasan yang menjunjung tinggi sebuah proses menjadi tercoreng.

Memang, telah banyak orang yang memperingkatkan manajemen United untuk berhati-hati dalam memilih suksesor Sir Alex. Pasalnya, ia bukan cuma harus berpengalaman, tetapi juga mampu memikul beban yang diwariskan Sir Alex.

“Ia telah melakukan banyak hal. Anda tak akan pernah melihat seseorang seperti dirinya lagi,” ungkap mantan gelandang United, Paul Ince. “Mengganti Alex Ferguson adalah pekerjaan yang sangat besar. Siapapun yang datang, kalau tidak berjalan baik ia akan mendapati Sir Alex Ferguson di atasnya, dan itu bisa menambah beban.”

Sialnya, beban itu justru dipikul oleh David Moyes, seseorang yang ditunjuk langsung oleh Sir Alex. Sekilas, Moyes sejatinya tidak akan lolos kualifikasi menjadi manajer untuk kesebelasan sebesar United. Portofolionya tidak cukup mentereng. Ia cuma pernah membesut Preston North End (PNE) dan Everton. Prestasinya pun hanya pernah meraih gelar juara divisi dua bersama PNE.

Namun, barangkali, ada alasan historis yang menjadi alasan Sir Alex. Ia merasa memiliki nasib yang sama dengan Moyes. Keduanya sama-sama berasal dari Skotlandia dan sering dipandang sebelah mata. Yang jelas, tetap saja, ada kualitas yang sangat berbeda antara Moyes di masa itu, dengan Sir Alex di masa muda.

Manajemen United pun memiliki kebijakan yang berbeda. Sebagai salah satu kesebelasan bergengsi di dunia, United tak perlu lagi excuse soal kegagalan meraih prestasi. United perlu prestasi yang segera.

Moyes tak bertahan hingga akhir musim. Ia dipecat pada 22 April 2014 dan posisinya digantikan oleh Ryan Giggs. Pergantian ini awalnya memberikan harapan karena Giggs telah ada di United di awal-awal kepelatihan Sir Alex. Ia diharapkan mampu menerjemahkan apa yang menjadi filosofi Sir Alex dan tertular kejayaan.

Namun, nyatanya tidak demikian. Giggs tak memberikan perubahan yang amat signifikan. Ia pun gagal “memandu” Louis van Gaal kala menahkodai United, untuk segera memberikan prestasi. Bahkan, Jose Mourinho seolah tak memerlukannya lagi dengan tidak menyertakan Giggs ke dalam tim kepelatihan.

Lantas, pertanyaan besar menyeruak. Apakah Sir Alex memang tidak menurunkan keahliannya dalam mengarsiteki sebuah kesebelasan?

Pintar Taktik Saja Tidak Cukup

Selain kemampuan dan pengetahuan taktik, gaya sang manajer terkadang menentukan. Contohnya Andre Villas-Boas yang pernah melatih Chelsea (2011-2012) dan Tottenham Hotspur (2012-2013).

Secara pengetahuan taktik, tentu tidak ada yang meragukan seorang muda yang meraih lisensi A UEFA sejak usia 19 tahun tersebut. Villas-Boas pun pernah menjadi asisten pelatih Porto yang kala itu dimanajeri Jose Mourinho. Ia ikut Mourinho saat pindah ke Chelsea dan Inter Milan.

Saat berkesempatan melatih Porto, Villas-Boas mempersembahkan gelar Liga Portugal dan Liga Europa. Ini pula yang membuat Chelsea sepakat untuk mendatangkan pria kelahiran 17 Oktober 1977 tersebut, bahkan membayar 15 juta euro untuk mengaktifkan klausul pelepasan.

Namun, di tengah musim 2011/2012, perjalanan Chelsea, yang memenangi seluruh pramusim, mulai mengendur dengan keluar dari empat besar usai kalah 0-2 dari Everton. Hal ini membuat Villas-Boas membuat pertemuan khusus, yang tanpa ia sangka, memancing para pemain senior Chelsea mempertanyakan taktiknya di hadapan Roman Abramovich.

Usai kekalahan tersebut, skuat Chelsea seperti dinaungi awan hitam. Mereka kalah 1-3 dari Napoli di babak 16 besar Liga Champions, serta kalah 0-1 dari West Bromwich Albion yang kemudian menjadi pertandingan terakhir Villas-Boas bersama Chelsea.

Sejatinya, ada yang terlihat berbeda dari Chelsea utamanya usai kalah 0-2 dari Everton. Mereka seperti bermain tidak bertenaga yang membuat mereka bahkan dipermalukan kesebelasan sekelas WBA. Sialnya, Villas-Boas pun dianggap melakukan blunder yang salah satunya saat mencadangkan Frank Lampard, Ashley Cole, dan Michael Essien, saat kalah dari Napoli. Ia seolah ingin menunjukkan otoritasnya sebagai pelatih, yang sialnya, gagal total.

Selama menjadi manajer Chelsea banyak rumor beredar bahwa Villas-Boas kurang dihargai oleh pemain senior. Tidak sedikit yang bahkan mempertanyakan taktiknya.

“Di Chelsea, Frank Lampard menggambarkan hubungannya dengan Villas-Boas tidak ideal, dan kurangnya ikatan dengan pemain senior seperti Ashley Cole, adalah salah satu masalah mengapa mereka kolaps di musim dingin,” tulis Independent.

Dari contoh di atas, pengetahuan taktik serta prestasi menjadi juara saja ternyata tidak cukup untuk menjadi seorang manajer. Ia mestilah orang-orang terpilih yang mampu mengatasi segala persoalan yang ada di dalam tim.

Mewariskan Karakter

Hal yang tidak dimiliki para pelatih muda adalah pengalaman. Namun, pengalaman bisa disingkirkan kalau Anda berprestasi, seperti halnya Jose Mourinho.

Sir Alex, dalam wawancara dengan United Insider, pernah mengatakan bahwa ada sifat-sifat kuat yang jadi andalan saat Anda berpengalaman dalam pekerjaan.

“Siapa pun yang pernah sukses atau lama bekerja di sebuah industri, akan dihargai karena pengetahuannya tentang pekerjaan itu,” kata Sir Alex. “Soal motivasi, sebagian orang tak merespons. Mereka orang-orang yang dingin dan bisa memotivasi diri sendiri. Tiap manusia berbeda dan itulah tantangannya saat memotivasi tim.”

Kita tentu mesti percaya dengan omongan seorang manajer peraih 13 gelar Premier League. Bahwa perbedaan karakter setiap orang adalah tantangan bagi manajer manapun. Terkadang, peran manajer menjadi minimal saat tim dengan kekompakan yang kuat telah utuh. Menerjemahkan taktik saja terkadang menjadi tidak perlu.

Hal ini dijabarkan Sir Alex kala mencontohkan Angelo Dundee, mantan pelatih Muhammad Ali.

“Ia jelas karakter yang mengagumkan. Saya pikir, pengetahuannya di sisi ring, seperti yang sering saya baca, amat vital buat Ali. Saya pikir ia berperan mengubah beberapa hasil pertandingan Ali.

Ia juga melatih Sugar Ray Leonard dan ada kisah tentang pertarungan antara Leonard melawan Thomas Hearns, saat Dundee berkata kepadanya di antara ronde ke-12 dan ke-13, ‘Kau mengacaukannya, Nak!’ Banyak orang merasa Leonard akan kalah, tapi kata-kata Dundee seolah menyengatnya dan ia akhirnya menang. Mengagumkan,” ucap Sir Alex.

Motivasi menjadi poin penting dalam ucapan Sir Alex. Hal ini yang agaknya terjadi pada Mourinho. Dua musim lalu, Mou berhasil meraih gelar juara bersama Chelsea, tapi musim berikutnya, ia justru terpuruk dan kontraknya diputus di tengah jalan.

Menilik segala prestasi dan pengalaman yang pernah direngkuh Mou, agaknya kini kita tinggal menunggu akankah motivasi Mourinho mengembalikan kejayaan Manchester United?