Steven Gerrard masih merasa kesal setiap menatap wajah Martin Atkinson. Ia mengingat benar kata-kata arogan yang dilontarkan sang wasit sebelum mengeluarkan kartu merah dari sakunya: “Ya, kamu!”.

Di Anfield, sorakan untuk Gerrard terdengar begitu kencang. Tentu bukan dari penggemar The Reds, melainkan dari suporter tandang Manchester United. Gerrard pun kembali mendengar chant yang hampir membuatnya bosan karena keseringan:

‘Steve Gerrard, Gerrard… he slipped on his f****** arse, he gave it to Demba Ba… Steve Gerrard, Gerrard…’

Gerrard bukan sekadar pemain Liverpool. Ia adalah kapten. Ia adalah representasi dari mimpi-mimpi para penggemar Liverpool untuk menggapai gelar liga yang absen selama belasan tahun.

Musim 2013/2014 adalah musim di mana Liverpool begitu dekat dengan gelar juara. Di pertandingan keempat terakhir, Gerrard menyemangati rekan-rekannya dengan begitu emosinal: jangan sampai lepas! jangan sampai selip!

Nyatanya, di pertandingan selanjutnya menghadapi Chelsea, justru Gerrard yang selip. Ia “memberikan” bola pada Demba Ba dan mengubur hidup-hidup peluang dan impian di depan mata. Gerrard pun berubah dari calon pemenang menjadi pecundang.

Bayang-bayang Gerrard atas kegagalannya di musim tersebut langsung pupus saat suporter Manchester United mulai mengubah chant-nya karena kelewat bosan: ‘You nearly won the league, you nearly won the league… and now you better believe it, now you better believe it, now you better believe it, you nearly won the league.’

Di pertandingan tersebut Gerrard tak bermain sejak awal. Ia pun menyebut kalau kondisinya saat itu seperti hewan buas yang dikandangi. Kemarahan dari hewan itu semakin lama semakin memuncak. Apalagi, para penggemar Manchester United meneriakinya dengan congkak, sementara Anfield terasa begitu sunyi.

Liverpool mandul dalam dua hal: serangan juga keberanian. Di babak pertama, mereka hanya mencatatkan begitu sedikit tekel.

“Itu bertentangan dengan segala yang kubangun dalam DNA-ku. Tekel dan saling bertabrakan adalah hal yang perlu saat menghadapi Manchester United,” kata Gerrard.

Lidah memang lebih tajam dari apapun. Namun, Gerrard menolak untuk memberi rekan-rekannya sekadar saran dan semangat. Ia memilih untuk menunjukkannya secara langsung.

“Saat kami menunggu babak kedua dimulai, saya melihat ke sekeliling Anfield, tempat tempurku sejak lama. Saya melakukan beberapa pemanasan terakhir, memutar leher, membenarkan celana, dan tidak sabar untuk segera memulai pertandingan,” ungkap Gerrard.

Setelah masuk ke lapangan, spul sepatunya sudah mengenai punggung kaki Juan Mata. Si Pemain Spanyol tersebut langsung terbang tak terkendali. Dengan cepat Gerrard memutuskan untuk mengirim umpan saat Ander Herrera melakukan tekel berusaha untuk menutup ruang.

“Kaki kanannya merentang di rumput Anfield. Aku tak bisa menghentikan diriku. Tanpa memberi waktu buatku berpikir, aku mengangkat kaki kiriku dan menginjak Herrera. Aku merasa spulku tenggelam ke dalam daging di atas ankle. Itu mestinya amat menyakitinya,” ungkap Gerrard.

Herrera langsung melonjak kesakitan. Gerrard tak menolongnya. Ia hanya mengangkat tangannya di atas kepala dengan gestur marah. Menurut pemain yang tak pernah mendapatkan gelar Premier League ini, hal tersebut dilakukan agar seluruh perhatian tak terpusat padanya.

Meski tahu kalau dia berada dalam masalah, Gerrard melontarkan pertanyaan bodoh pada Martin Atkinson yang mendekatinya, “Apa? Aku?”

Atkinson menjawab tegas, “Ya, kamu!”

Gestur jalan Atkinson terasa berbeda. Gerrard tidak menyukai cara Atkinson berjalan dan bagaimana mimik muka Atkinson. Benar saja. Atkinson tanpa ampun memberinya kartu merah yang dengan otomatis membuat kakinya melangkah keluar lapangan.

Sebelum dikartu merah, Gerrard melihat Wayne Rooney tengah mendekat dan melihatnya. “Rooney tahu kalau aku akan diusir. Saat aku meninggalkan lapangan, aku bertanya pada diriku sendiri. ‘Apa yang telah kau lakukan? Apakah kau sebodoh itu?” kenang Gerrard.

“Hanya butuh 38 detik buatku diusir menghadapi Manchester United. 38 detik di mana aku menjadi pusat dari setiap aksi kecil dan tampilan kemarahan yang begitu ganas. Pada akhirnya, 38 detik itu ditentukan oleh kemarahan dan semacam kegilaan.”