Setiap pekannya, kekurangan Ole Gunnar Solskjaer sebagai manajer terus diekspos ke publik oleh media-media. Namun, masalah di United tetap berjalan meski semua orang telah bebricara seperti apa solusinya. Maka dengan keadaan begitu, jika Solskjaer tetap ingin merasa terhibur setiap saat, ia setidaknya bisa mencerminkan bahwa Manchester United masih menjadi klub yang dibicarakan semua orang.
Berbicara mengenai perburuan gelar, kekalahan Manchester City oleh Wolves adalah sebuah kejutan di akhir pekan lalu. Hasil pertandingannya benar-benar tidak ada yang menyangka. Namun kendati begitu, kegagalan United dalam meraih kemenangan di Newcastle justru menjadi hal yang banyak mendominasi agenda berita di kolom-kolom media sepakbola. Ini merupakan sebuah keanehan.
Sementara itu, posisi United kian merosot, dan sekarang mereka berada di urutan di bawah 10 besar klasemen Premier League setelah membuat awal musim paling buruk dalam 30 tahun terakhir. Solskjaer juga masih belum merasakan menang tandang sejak ditunjuk sebagai manajer permanen, dan dalam tiga pertandingan tandang terakhir, United bahkan gagal mencetak gol. Yang lebih parahnya lagi, mereka tidak mencatatkan tembakan tepat sasaran dalam pertandingan melawan AZ Alkmaar di Europa League pekan lalu.
Oleh karena itu, tampaknya sudah terasa lama sekali sejak euforia kemenangan di bulan Maret lalu ketika United mengalahkan Paris Saint-Germain di Liga Champions, dan ketika itu Eric Cantona sempat mengatakan; “Mereka adalah Manchester United, dan itulah yang mereka lakukan.” Rasanya sehabis itu tidak ada lagi euforia yang serupa.
Padahal, dari kemenagan babak 16 besar tersebut, Solskjaer berhasil meyakinkan Ed Woodward dan dewan petinggi klub United untuk membatalkan pencarian manajer baru yang berpengalaman sebagai pengemban tugas manajer permanen mereka di musim 2019/2020. Namun yang terjadi, tidak lama setelah keputusan penunjukkan Soslkjaer sebagai manajer permanen, atsmosfer buruknya mulai terbuka dan United mulai jatuh dari tebing.
Sejak awal April, Manchester United di bawah Solskjaer hanya meraih 14 poin dari 15 pertandingan. Sedangkan Liverpool dengan manajernya Jurgen Klopp, jika dibandingkan, telah mencatatkan raihan sempurna dengan 42 poin dari 14 pertandingan pada periode yang sama. Dan Liverpool, kebetulan akan menjadi lawan United selanjutnya di Premier League setelah jeda Internasional.
Rasanya tidak terlalu menarik untuk melihat tim Solskjaer yang sedang tidak dalam kondisi bagus akan melawan tim Klopp yang berada dalam kondisi terbaik. Mantan penyerang Inggris Alan Shearer malah merasa bahwa gambaran United sekarang adalah United paling terburuk yang pernah ia saksikan selama bertahun-tahun. Jadi, tampaknya dari sekarang hasil pertandingan atau siapa yang menang pun sudah ada di kepala para penikmat Premier League.
Semua orang, sepertinya, memiliki pendapat tentang berbagai kondisi Manchester United dari masa kejayaan sampai masa krisis seperti yang sekarang sedang terjadi ini. Oleh karenannya, seberapa serius kah kondisi United sekarang ini, dan berapa lama semua itu akan berlanjut? Ini akan tergantung pada seberapa cepat klub berjuluk The Red Devils tersebut dapat memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan berikut.
Apakah United bisa terdegradasi?
Menurut salah satu pundit The Guardian Paul Wilson mengatakan jika hal semacam ini tidak akan mungkin terjadi. Meskipun tidak ada hal yang mustahil, tapi siapa pun yang pernah tahu situasi liga Inggris tahun 1974 pasti akan melihat kesamaan tertentu dengan situasi saat ini. United sudah membeli tiga pemain bagus di musim panas kemarin, dan mereka terindikasi akan menghabiskan uang lagi di Januari nanti. Namun, jika hasilnya belum membaik pada tahap itu, itu berarti tanda tanya yang lebih besar akan tergantung pada manajer.
Solskjaer telah menyarankan seorang striker untuk menjadi prioritas utama, dan United tentu saja bisa menggunakan uang untuk membeli bek tengah baru sebagai duet tangguh Harry Maguire di lini pertahanan. Namun masalahnya, kalau United akan merekrut pemain bagus, pasti mereka akan mengalami kesulitan karena si pemain bisa saja menolak akibat klub peminat tidak bermain di Liga Champions.
Yang jelas saat ini, meskipun keadaan United begitu terpuruk, akan sangat mengejutkan melihat pasukan Setan Merah terdegradasi di musim ini. Atau, rasanya juga akan aneh ketika menemukan pemain dengan kualitas seperti Paul Pogba, De Gea dan Maguire terlibat dalam pertempuran keluar dari zona degradasi.
Apa alasan di balik keterpurukan United selama ini?
Jika berkaca dari teori Gary Neville, itu semua terjadi karena United telah mempekerjakan dan memecat terlalu banyak manajer pasca era Sir Alex Ferguson. Semua gaya dan filosofi bermain tim menjadi berbeda di setiap pergantian manjaer. Itulah sebabnya mengapa United kerap dianggap kehilangan identitas. Padahal, masing-masing dari manajer yang ditunjuk telah menghabiskan jumlah uang yang cukup besar, tapi mereka malah berakhir dengan meninggalkan tim yang sama sekali tidak ada kualitas di kelasnya.
Ini merupakan teori yang valid. Ditambah lagi mengingat bahwa kegagalan United dalam merekrut direktur sepakbola atau jabatan yang setara selama satu tahun terakhir telah mengidentifikasikan adanya kebutuhan lebih untuk membenahi setiap aspek yang ditinggalkan tiga manajer sebelumnya. Sayangnya, para suporter United lebih memilih untuk terlalu mempromosikan Solskjaer daripada meminta klubnya untuk merekrut direktur sepakbola.
Padahal, menurut Paul Wilson, semua orang tahu Solskjaer adalah manajer yang tidak berpengalaman, dan seharusnya United tidak perlu menunjuknya sebagai manajer permanen sebelum akhir musim lalu. Seandainya United tetap pada rencana semula –mencari manajer berpengalaman–, Solskjaer mungkin sudah kembali ke Norwegia dengan cek besar di sakunya, dan reputasinya sebagai pahlawan United akan selamanya ada di benak suporter.
Apa yang bisa United lakukan untuk memperbaiki semua kekacauan ini?
Secara instan, mereka bisa mencoba memecat manajer lagi dan membawa manajer baru masuk, atau bahkan mungkin bertindak cukup cepat untuk membuat penyesuaian dalam jeda Internasional saat ini. Namun, sekalipun mereka benar-benar mengejar tindakan seperti itu, CEO Ed Woodward pasti akan lebih memilih untuk memberikan tender “proyek United” kepada manajer lain, dan meminta Solskjaer menulis surat pengunduran diri sebagai pengakuan kesalahan bersama.
Tapi peluang terjadinya hal seperti itu sangatlah kecil, sehingga Solskjaer mungkin akan tinggal sedikit lebih lama dengan harapan ia bisa membuat United keluar dari lubang keterpurukan. Di satu sisi, manajer asal Norwegia tersebut sebelumnya telah memohon kesabaran dari dewan petinggi klub seperti yang pernah diberikan kepada Sir Alex Ferguson di tahun-tahun awalnya sebagai manajer United. Hanya saja yang jadi masalah adalah sampai saat ini belum ada bukti bahwa Solskjaer sedang berada di jalur yang benar.
Kendati begitu, Ed Woodward mau tidak mau harus selaras dengan apa yang diinginkan Solskjaer. Pasalnya, ia hampir tidak dapat melakukan “putar balik”, terutama untuk membuat keputusan membawa Mauricio Pochettino ke Old Trafford. Jadi sekali lagi intinya, baik Ed ataupun dewan petinggi United, wajib memberi dukungan penuh mereka kepada Soslkjaer sampai pada titik ketika mereka sudah tidak sanggup lagi mendukungnya.