Dalam beberapa tahun terakhir, Patrice Evra kerap melontarkan satu slogan yang kemudian menjadi sebuah trademark bagi dirinya tersebut yaitu “I Love This Game”. Secara harafiah, makna dari kata-kata ini adalah saya cinta permainan ini. Kata permainan, mungkin mengarah kepada sepakbola yang menjadi olahraga andalan Evra. Namun lebih dari itu, ungkapan I Love This Game adalah cara Evra untuk menertawai perjalanan hidupnya.
Itulah yang dikatakan Patrice Evra dalam artikel The Player’s Tribune yang berjudul “Let Me Tell You Why I Love This Game”. Dalam artikel yang dirilis bersamaan dengan pensiunnya Evra dari dunia sepakbola, ia menceritakan bagaimana perjuangannya keluar dari masa sulit dengan mengandalkan sepakbola sebagai harapan. Ia mengawali ceritanya dengan menyebut kalau dia mungkin akan menjadi pengemis jika tidak bermain sepakbola.
Masa kecil Evra terbilang sangat sulit. Ia harus tinggal dengan saudara-saudaranya yang berjumlah 24 orang. Pada usia 10 tahun, ayahnya pergi menceraikan ibunya dengan membawa beberapa perabotan rumah. Untuk beristirahat saja, Evra sudah kesusahan, apalagi berbagi makanan. Oleh karena itu, ia kerap keluar mencari uang di jalan dengan mencuri atau meminta-minta.
Orang lain mungkin akan kesal jika memiliki hidup seperti Evra. Tidak punya apa-apa dan terkadang menggelandang di jalan. Namun alih-alih mengeluh, ia justru menertawai keadaannya. Dari situlah makna I Love This Game yang terkenal itu muncul. Kata Game dia artikan sebagai sebuah kehidupan yang harus dijalani dengan penuh tawa.
“Mengapa saya bahagia? Itu karena Ibu. Saya melihat betapa kerasnya dia bekerja untuk memenuhi kebutuhan kami, dan saya sadar kalau tidak ada gunanya untuk mengeluh tentang apa pun. Mengeluh adalah perbuatan tidak berguna. Jika Anda percaya bahwa sesuatu yang baik akan terjadi pada Anda, maka terjadilah.”
Tidak hanya kehidupan di rumah, kehidupan sekolah Evra juga berjalan dengan sangat sulit. Ia menjadi tertawaan seisi kelas ketika dia menuliskan pesepakbola sebagai cita-citanya ketika besar disaat teman-temannya yang lain memilih pengacara, dokter, dan lain-lainnya. Namun Evra tetap percaya diri menjadi pemain sepakbola meski teman-temannya menertawainya.
Hati manusia kerap berubah-ubah. Begitu juga dengan Evra. Ada fase ketika ia merasa guru dan teman-temannya benar kalau dia tidak akan bisa jadi pemain sepakbola. Sampai akhirnya, pada usia 17 tahun ada seseorang yang mau mengajaknya ke Italia untuk mewujudkan mimpinya tersebut. Sebuah klub kecil bernama Marsala menjadi pintu gerbang atau yang Evra sebut sebagai “pintu surga” dalam kariernya.
Namun masalah tidak mau lepas dari Evra. Ia harus menuju kota kecil tersebut sendirian. Saat di stasiun Milan, ia kebingungan karena ternyata ia sudah ketinggalan kereta selama satu jam. Beruntung, Evra bertemu dengan seseorang yang ternyata sama-sama berasal dari Senegal. Orang asing tersebut kemudian membawa Evra untuk tinggal sementara di rumahnya sebelum kembali mengantarnya naik kereta yang benar menuju Marsala keesokan harinya.
Evra berhasil naik kereta yang benar. Akan tetapi, ia lupa bertanya kepada orang tersebut, kapan harus turun. Bekalnya hanya sebuah tulisan tentang stasiun tempatnya turun, tapi dia tidak tahu stasiun tujuannya ada di sebelah mana.
“Di kereta, saya hanya bisa bertanya, ‘Apakah ini stasiunnya? Apakah ini stasiunnya?’ Tiga sampai empat kali saya bertanya hingga membuat beberapa dari mereka kelihatan kesal. Beruntung saya bisa turun di stasiun yang tepat.”
Apakah Evra keluar dari masalah? Tentu tidak. Perjuangannnya ternyata masih berlanjut. Setelah sampai di stasiun, tidak ada satupun yang datang menjemputnya. Di usia yang baru 17 tahun, di tempat yang asing seperti Italia, Evra hanya bisa pasrah. Hingga enam jam kemudian, barulah ia dijemput oleh perwakilan Marsala.
“Saya saat itu menjadi anak laki-laki paling bahagia di dunia. Lalu aku menelepon ibuku untuk memberitahu, ‘Bu, mereka memberi kita makanan. Kami makan dengan tiga set alat makan lengkap’ setelah mendengar itu, ibu langsung menangis.”