The Busby Babes di Belgrade. Foto: manutd.com

Beban berat dipikul Matt Busby untuk mengangkat Manchester United menjadi poros baru kekuatan sepakbola di Inggris. Usianya kala itu masih 36 tahun saat ditunjuk menangani United pada 1945.

Tidak sedikit yang meragukan loyalitas Busby. Alasannya, karena pria kelahiran 26 Mei 1909 tersebut lebih dikenal sebagai pemain Manchester City.

Busby memang pernah memperkuat City sejak 1928 hingga 1936 dengan mencatatkan 206 penampilan. Ia pun pernah memperkuat Liverpool pada 1936 hingga 1941, alih-alih bermain untuk Manchester United yang tak sanggup membayar biaya transfernya.

Karier kepelatihan Busby terjadi karena Perang Dunia kedua. Kala itu, ia menjadi pelatih sepakbola di pusat pelatihan fisik tentara. Setelah itu, ia ditawari menjadi asisten pelatih Liverpool. Namun, karena adanya perbedaan pendapat antara dirinya dengan Chairman Liverpool, peluang itupun dilepas Busby.

Lantas, pada Februari 1945 kesepakatan itu terjadi dan Busby menandatangani kontrak untuk menangani United yang amat membutuhkan manajer. Busby menghadirkan peran baru bagi manajer di Inggris kala itu. Ia berpendapat kalau manajer adalah seseorang yang terlibat langsung dalam latihan, memilih pemain saat pertandingan, juga menentukan mana pemain yang dibeli dan dijual. Ia pun tak ingin adanya intervensi dari dewan klub yang menurutnya tak mengerti sama sekali soal bagaimana mengelola sebuah kesebelasan.

Chairman United tak punya ruang untuk berargumen dan menyetujui segala kesepakatan itu. Awalnya, ia ditawari kontrak selama tiga tahun, tapi Busby merasa bahwa perubahan membutuhkan proses. Alhasil, ia pun menandatangani kontrak berdurasi lima tahun. Dari sinilah revolusi itu benar-benar dimulai.

Bersama Jimmy Murphy

Busby tidak sendirian. Revolusinya di Manchester dilakukannya bersama bekas halfback West Bromwich Albion, Jimmy Murphy. Bukannya Busby kurang dalam kemampuan taktik, tetapi ia memanfaatkan Murphy untuk kepentingan lain. Murphy dikenal sebagai orator ulung. Setiap kata yang keluar dari mulutnya, bisa memotivasi siapapun yang mendengarnya. Murphy pun direkrut sebagai pelatih kepala.

Tentu, kejayaan tidak hadir secara instan. Sepanjang lima musim, sejak 1946, United hanya memenangi satu Piala FA pada musim 1947/1948. Namun, prestasi United di liga terbilang mentereng. Sepanjang lima musim itu, empat kali United meraih peringkat kedua.

Pada tahun keenam atau pada musim 1951/1952, sejumlah perubahan pun dilakukan. Busby melakukan sejumlah perubahan, salah satunya dengan mengganti sejumlah pemain tua dengan pemain berusia 16 dan 17 tahun. Nama-nama baru itu termasuk Bill Foulkes, Mark Jones, Jackie Blanchflower, Albert Scanlon, David Pegg, dan Liam Whelan. Salah satu di antara nama tersebut adalah Duncan Edwards yang dianggap sebagai pemain muda terbaik pada masa tersebut.

(Catatan: Edwards baru mulai menjalani musim reguler pada 1953)

Pertandingan pramusim dijalani United dengan sejumlah hasil positif. Dari 15 pertandingan, mereka menang 12 kali. Namun, di dua pertandingan terakhir, United dibantai Spurs 0-5 dan 1-7. Saat itu, Spurs merupakan kekuatan besar yang ditakuti oleh lawan-lawan.

Hal ini pun terlihat di liga di mana pada putaran pertama, United kalah 0-2 dari Spurs. Namun, di putaran kedua, United berbalik unggul 2-0.

United beruntung memiliki duet striker Jack Rowley dan Stan Pearson. Keduanya seolah saling bersaing untuk menjadi yang tertajam di lini serang. Pada musim sebelumnya, Pearson menjadi pencetak gol terbanyak United, mengalahkan Rowley yang selama empat musim beruntun menjadi yang tertajam.

Pada musim 1951/1952, Rowley balik mengungguli Pearson dengan mencetak 30 gol. Di belakangnya, Pearson membuntuti dengan 22 gol, serta John Downie dengan 11 gol. Capaian bagus ini seolah melengkapi prestasi United di akhir musim yang meraih gelar juara untuk pertama kali dalam 41 tahun terakhir.

Setelah musim tersebut, musim-musim selanjutnya seperti terasa mudah. Pada musim 1955/1956 serta 1956/1957, gelar juara Divisi Satu kembali diraih.

Berakhir di Munich

United punya ambisi besar saat kembali ke Eropa pada musim 1957/1958. Dengan skuat yang terbilang komplet, United punya bekal kepercayaan diri tinggi untuk meraih prestasi.

Pada musim 1956/1957, United bertanding dengan mengesankan di Eropa. Anderlecht dilibas 12-0, Borussia Dortmund dikalahkan 3-2, sementara kemenangan Athletic Bilbao di leg pertama dibalikkan dengan kemenangan 6-5 secara agregat.

Busby punya pengganti sepadan setelah duet Pearson dan Rowley. Kali ini, giliran Dennis Viollet dan Tommy Taylor yang bergantian menempatkan namanya sebagai pemain tertajam di United. Kehadiran Duncan Edwards di pos halfback pun menjadi penting. Ia disebut-sebut bermain seperti Busby yang punya kecerdasan dalam bermain. Ia tahu kapan waktu yang tepat saat harus menggiring bola, dan kapan harus mengumpan.

Pada musim 1957/1958, duet Viollet dan Taylor dibantu oleh kehadiran David Pegg dan Billy Whelan yang tak kalah tajam. Kompetisi Eropa pun dilalui dengan kepercayaan diri tinggi. Shamrock Rovers dihajar 9-2, sementara Dukla Prague, wakil Republik Cheska, dikalahkan 3-1.

Lawan United di babak perempat final terbilang berat. Wakil dari Yugoslavia, Red Star Belgrade, menunjukkan keperkasaannya di babak praeliminasi dan babak pertama. Dalam leg pertama yang dihelat di Stadion Old Trafford, Bobby Charlton dan kolega menang 2-1.

Hampir sebulan kemudian, atau pada 5 Februari 1958, United terbang ke Belgrade untuk menghadapi leg kedua. Pertandingan berjalan ketat dan berakhir dengan skor 3-3 yang membuat United lolos ke babak semifinal.

Di sinilah tragedi itu bermula.

Langsung Pulang

Skuat United kala itu, belumlah dijuluki “The Red Devils”. Karena diasuh oleh Matt Busby, mereka pun dijuluki “Busby Babes”. Berdasarkan Michael Crick dalam Manchester United – The Betrayal of a Legend, karena jadwal pertandingan yang padat di mana pertandingan liga dilangsungkan Sabtu, sementara kompetisi Eropa pada tengah pekan, maka perjalanan udara adalah pilihan logis, meski kala itu perjalanan udara punya risiko besar.

Salah satu contohnya adalah kala United pulang dari Praha. Kabut yang menutupi wilayah Inggris, membuat skuat United harus mendarat di Amsterdam dan pulang dengan menggunakan ferry dan melanjutkan perjalanan dengan kereta.

Setelah bermain imbang 3-3 dengan Red Star, United yang telah mencarter pesawat, memutuskan untuk langsung pulang ke Manchester keesokan harinya. Pesawat yang ditumpangi Busby Babes berjenis Airspeed Ambassador 2 yang dibuat pada 1952 yang dinamai “Elizabethan”.

Elizabethan tidak memiliki kemampuan untuk terbang langsung dari Belgrade ke Manchester. Ia mesti mengisi bahan bakar di Bandara Munich.

Dua kali percobaan lepas landas dari Bandara Munich ditemui kegagalan. Kala itu, salju turun dengan deras. Penumpang yang dipindahkan ke ruang tunggu bandara kembali naik ke pesawat untuk percobaan lepas landas untuk ketiga kalinya. Namun, kali ini, semuanya berakhir mengenaskan.

Pesawat tidak mencapai tenaga yang cukup untuk bisa mengudara. Sudah terlambat bagi pilot untuk mengerem dan pesawat, dengan kecepatan tinggi, menabrak pagar dan rumah di ujung landasan. Kobaran api serta asap yang membumbung tinggi terlihat hingga luar bandara.

Sebanyak 20 orang tewas di tempat, sementara dua lainnya tewas setelah dirawat di rumah sakit. Salah dua yang wafat adalah David Pegg dan Tommy Taylor, dua juru gedor United. Selain itu, delapan jurnalis yang ikut ke Belgrade pun tewas.

Tragedi tersebut jelas memengaruhi Manchester United baik secara mental maupun prestasi. Di liga, posisi mereka melorot setelah hanya meraih kemenangan dari pertandingan sisa. Pun di Kompetisi Eropa di mana mereka kalah dari AC Milan di partai semifinal.

Tragedi ini sekaligus mengakhiri era Busby Babes yang sejatinya baru dimulai dan tengah merajut kejayaan. Setiap tragedi menimbulkan luka; itu pasti. Separuh Manchester United pulang ke rumah dengan selamat, sementara sebagian lainnya pulang ke rumah yang tak punya sekat; mereka pulang dengan tenang ke akhirat.