Manchester United berhasil membungkam Ajax Amsterdam dengan skor 2-0 dalam final Liga Europa 2016/2017 di Friends Arena, Solna, Stockholm, Swedia, Kamis (25/5/2017) dini hari WIB. Gelar juara ini jadi satu-satunya harapan Jose Mourinho untuk menjaga marwahnya sebagai manajer sukses, setelah gagal total di Premier League Inggris dalam musim debutnya bersama tim Setan Merah. Jika gagal jadi juara, maka pelatih asal Portugal ini akan dicap gagal, seperti dua pendahulunya, David Moyes dan Louis van Gaal. Tapi, kemenangan telah memberinya jalan mengembalikan kejayaan United.

Juara Liga Europa ini juga menjadi satu-satunya tiket bagi The Red Devils untuk bisa masuk ke Liga Champions musim depan, setelah pada musim ini hanya berlaga di kompetisi kasta kedua Eropa karena kegagalan Van Gaal di musim sebelumnya.

Makanya, tidak heran jika kesempatan terakhir ini benar-benar dimanfaatkan oleh Mourinho, demi mewujudkan semua target tersebut. Apalagi, jika kembali gagal ke Liga Champions musim depan untuk kedua kali berturut-turut, maka sponsor utama mereka, Adidas akan memangkas bantuan dana untuk mendukung operasional musim depan.

Mourinho sendiri punya modal besar saat datang ke laga pamungkas Liga Europa ini. Setidaknya, salah satunya adalah rekor mentereng dalam belasan partai final yang pernah dijalani. Berdasarkan data statistik, sebelumnya pelatih 54 tahun ini pernah menghadapi 13 final sepanjang karirnya sebagai pelatih sejak 2000. Yakni, empat laga final saat masih melatih klub Portugal Porto (2002-2004), empat final pula ketika menukangi Chelsea (2004-2007 dan 2013-2015), masing-masing dua laga final di Inter Milan (2008-2010) dan Real Madrid (2010-2013), serta sekali bersama United.

Menariknya, 11 trofi berhasil dia raih dalam 13 final yang pernah dihadapinya itu. Dalam kata lain, Mourinho hanya pernah dua kali gagal dalam pertandingan pamungkas yang dijalaninya. Keduanya pun terjadi dalam partai final di kompetisi domestik, yakni saat Porto bermain di final Piala Portugal 2003/2004 dan ketika Madrid berlaga di final Copa Del Rey 2012/2013. Sedang 11 laga final lainnya berakhir dengan cerita manis mengangkat trofi di udara. Hasilnya berupa tiga trofi di Porto, empat trofi bersama Chelsea, dua trofi untuk Inter, serta masing-masing satu trofi bagi Madrid dan United.

Dengan catatan itu, maka peluang Mourinho membawa The Red Devils jadi juara Liga Europa musim ini cukup besar. Pasalnya, ada 85 persen peluang jadi juara yang dimilikinya sejauh ini, jika masuk ke babak final. Nilai persentase itu tentu sangat tinggi, dan bisa membuat gentar lawannya.

Hasilnya, Mourinho memang terbukti sukses mengantarkan United menjadi juara. Kini, ada kisah manis yang ditorehkannya dalam 12 laga final berbuah trofi. Jumlah itu hampir setengah dari koleksi gelar yang sudah dikumpulkannya sebagai pelatih, yakni 24 trofi, termasuk juara Piala Liga Inggris 2016/2017.

“Karena pertandingan final bukan hanya untuk dimainkan, namun untuk dimenangkan,” demikian biasanya Mourinho memberikan komentar, yang menjadi seperti kalimat sakti dari mulutnya agar tim asuhannya bisa memenangkan laga final.

Sepertinya, kalimat motivasi itu pula yang memupuk semangat anak-anak asuhnya dalam laga final Liga Europa kontra Ajax ini. Apalagi, sebelumnya dia juga sudah menjuarai Piala UEFA, sebelum sekarang bernama Liga Europa, saat masih menukangi Porto musim 2002/2003, selain dua kali menjuarai Liga Champions bersama Chelsea dan Inter.

Bahkan, pelatih yang juga pernah mengasuh klub Portugal Benfica selama beberapa bulan pada 2000 di awal karirnya sebagai manajer tetap itu menyebut final Piala UEFA 2002/2003 tersebut sebagai pertandingan yang paling mengaduk emosinya. Laga tersebut pun sempat dilanjutkan dengan babak perpanjangan waktu yang sangat mendebarkan. Pada akhirnya, tim asuhan Mourinho, Porto berhasil juga memenangkannya dengan skor tipis 3-2, dan membuat sang pelatih sukses pula meraih treble winners pertamanya dengan tambahan juara Liga Portugal dan Piala Portugal di musim yang sama.

“Saya selalu bilang, final Piala UEFA melawan Celtic adalah final paling emosional dalam karir saya, sebab final Liga Champions pada 2004 dan 2010 lebih terkontrol. Saya rasa gelar itu adalah awal dari semuanya. Saya pun memutuskan bertahan di Porto semusim lagi dan Anda tahu, saya pun sangat mensyukuri keputusan itu,” ungkap pria yang akrab disapa Mou itu seperti dikutip dari laman resmi UEFA. Melihat semua catatan tersebut, tidak salah jika julukan The Special One miliknya pun bisa diplesetkan jadi The Special Finals. ­­Dan kini, Mourinho semakin mempertegas julukan barunya itu.