“Saya akan selalu ingat hari pertama Paul Scholes di klub kami. Dia datang bersama seorang pemuda bertubuh kecil bernama Paul O’Keefe. Ayahnya, Eamonn, pernah bermain di Everton. Mereka berdiri di belakang Brian Kidd, yang berkata kepada saya bahwa dia mau membawa dua orang anak yang membuat dia tertarik. Mereka baru berumur 13. ‘Mana mereka?’ tanya saya ke Brian. Saking kecilnya, mereka tersembunyi di balik tubuh Brian,” begitulah ungkapan pertama Sir Alex Ferguson kala ia menceritakan tentang Paul Scholes di buku otobiografinya.

Ferguson memang meragukan Scholes akan menjadi pemain hebat. Ia hanya memiliki postur tubuh sekitar 140 cm ketika itu. Kala ia bergabung dengan tim muda United pada umur 16, Scholes tetap kecil. Namun Ferguson mengungkapkan bahwa Scholes tumbuh dengan cepat. Pada usia 18 tahun, tingginya sudah bertambah sekitar 10 sentimeter.

Namun Ferguson beberapa kali meragukan Scholes. Ketika Scholes masuk tim muda United, ia berposisi sebagai penyerang tengah.

“Dia tak punya kecepatan untuk bermain sebagai penyerang tengah,” ungkap Ferguson.

Scholes kemudian dimainkan di belakang striker. Dalam salah satu pertandingan pertamanya di The Cliff, tempat tim muda United bertanding, Scholes mencetak gol spektakuler dari luar kotak penalti dan membuat Ferguson kagum.

Seiring berjalannya waktu, Scholes mulai ditempatkan sebagai gelandang tengah. Pada posisi itulah Scholes benar-benar menjadi pemain kelas dunia. Ferguson merasa Scholes memiliki kepandaian dalam mengoper bola dan memiliki bakat untuk mengatur serangan.

“Dia bakal membawa lawan ke posisi yang tak dikehendaki, dan dengan satu sentuhannya bakal memutari lawan, atau membuat gerak tipu dan mengoper ke belakang. Lawan yang tadinya menempel dia jadi terlihat tak penting dan kadang konyol. Mereka jadi mesti buru-buru kembali ke kotak penalt sendiri. Dia bakal mengalahkan pemain yang menjaganya dengan cara itu,” ujar Ferguson dalam deskripsi singkatnya tentang Scholes.

Scholes pernah mengalami beberapa cedera jangka panjang namun ia kembali dapat diandalkan oleh Ferguson. Scholes adalah seorang pengidap asma dan penyakit Osgood–Schlatter, penyakit yang berbahaya bagi lutut seorang atlet. Sepanjang karirnya, ia juga pernah mengalami masalah mata dan cedera mulut. Namun Scholes selalu kembali lagi dalam keadaan lebih baik.

Masalah awalnya sempat muncul ketika Scholes berusia awal 30an. Ferguson memiliki pemain muda segar dalam diri Darren Fletcher dan Michael Carrick. Kedua pemain itu sempat membuat Ferguson sedikit menyingkirkan Scholes.

Pada final Liga Champions 2009 menghadapi Barcelona, Ferguson memasukkan Scholes untuk menggantikan Anderson yang hanya membuat tiga umpan dalam babak pertama. Scholes membuat 25 umpan dalam 20 menit terakhir pertandingan. Pertandingan tersebut menjadi salah satu peristiwa yang membuat Ferguson sadar bahwa selama ini ia salah.

“Saya mengaku berbuat kesalahan di sini. Sikap menyia-nyiakan orang bukan kesalahan yang saya sadari ketika itu, dan sukar dikoreksi sampai kita melihat efeknya pada korban,” tutur Ferguson.

Kemampuan luar biasa yang dimiliki Scholes membuat Ferguson benar-benar mengaguminya. Ia bahkan mengatakan bahwa Scholes adalah gelandang terbaik Inggris sejak masa Bobby Charlton. Ia juga merasa Scholes lebih baik dari legenda Inggris, Paul Gascoigne.

Bahkan Ferguson menyantumkan nama Scholes dalam empat nama pemain binaannya yang ia anggap sebagai pemain kelas dunia bersama Eric Cantona, Ryan Giggs, dan Cristiano Ronaldo. Jika saat itu Ferguson merasa tubuh mungil Scholes benar-benar tidak dapat membuatnya menjadi pemain hebat, maka tidak akan ada seorang Paul Scholes dengan catatan 718 penampilan, 155 gol, serta 25 trofi dalam 19 tahun karirnya di Manchester United.

Editor: Frasetya Vady Aditya
Sumber: Buku Autobiografi Sir Alex Ferguson.