foto: espnfc.com

Manchester United memecahkan rekor transfer dunia dengan hadirnya Paul Pogba yang ditransfer senilai 120 juta paun dari Juventus. Buat United angka ini tentu “biasa saja” karena tak membuat kondisi keuangan mereka goyah. Namun, dalam “dunia nyata” uang 120 juta paun bukanlah angka yang main-main.

Apabila dikonversi ke rupiah, 120 juta paun senilai dua triliun rupiah. Nilai tersebut dapat digunakan untuk membangun 28 Stadion Si Jalak Harupat, membeli 62 unit pesawat Boeing 737-100, 500 unit Mercedes Benz SL-class, sampai 125 ribu unit motor Mio J.

Contoh di atas hanya sebagai perbandingan bahwa angka 120 juta paun amatlah besar. Dengan mengalokasikan uang sebesar itu hanya untuk mendatangkan satu pemain, dianggap kurang tepat dan tak lebih sebagai aksi pemborosan. Di sisi lain, pengembangan pemain usia muda mestinya menjadi prioritas utama United ketimbang membeli pemain jadi berbanderol mahal.

Ironi Pembinaan Pemain Usia Muda

Kembalinya Pogba sekaligus menghadirkan ironi untuk The Red Devils. Pogba adalah produk akademi Manchester United. Namun, United justru mesti menebusnya dua kali lipat dari biaya pembangunan Trafford Training Centre!

Banyak yang beranggapan bahwa dengan uang sebesar itu, United lebih bijak menggunakannya untuk pengembangan infrastruktur akademi. United bisa saja membangun satu lagi kompleks khusus akademi sementara sisa uangnya untuk investasi di kepelatihan maupun untuk penyaringan calon bibit unggul dari berbagai dunia.

Saat ini, akademi seolah dianggap sebagai salah satu sumber pemasukan klub di mana orang tua murid membayar “uang pendidikan” agar anaknya bisa berlatih. Hal tersebut memang tidak salah, tetapi orang tua mana yang tak ingin anaknya bermain untuk tim utama? Bukankah tujuan mereka memasukkan sang anak adalah karena mimpi untuk menjadi pesepakbola?

Untuk bisa promosi ke tim utama, terdapat sejumlah hal yang mesti dipenuhi, salah satunya adalah komitmen pelatih untuk mengembangkan pemain muda. Apabila hal ini tidak tercapai, kesebelasan kemungkinan akan terus-terusan membeli pemain jadi. Akibatnya? Pengeluaran kesebelasan menjadi membengkak, sementara akademi mungkin akan kehilangan peminat.

Meski belum berhasil menangani Manchester United, tapi Louis van Gaal punya keberanian dengan memberikan kesempatan para pemain akademi dan pemain muda yang sudah berkarat di bangku cadangan untuk tampil. Nama-nama baru pun muncul, sebut saja Paddy McNair, Tyler Blackett, Andreas Pereira, James Wilson, sampai debutan yang paling mencuri perhatian: Marcus Rashford.

Apa yang dilakukan oleh Van Gaal sejatinya memberikan energi positif untuk akademi Manchester United itu sendiri. Dikenal sebagai salah satu akademi sepakbola terbaik di dunia, sudah sepertinya regenerasi berlangsung sepanjang tahun. Dengan ini, bukan tidak mungkin “Class of ‘92” akan kembali terlahir dan membawa United ke dalam kejayaan.

Rencana Jangka Panjang

Sejak era Premier League, Manchester United hanya ditangani oleh lima orang. Era Sir Alex Ferguson adalah era terbaik dalam sejarah United. Fergie bukan sekadar pelatih tetapi juga peletak batu fondasi United yang berdiri kokoh hingga saat ini.

Untuk mencapai kejayaan, cara-cara instan memang menggoda. Namun, hasil yang dicapai tidak akan mencapai kepuasan yang maksimal. Jangka waktunya pun tak bisa dibilang panjang.

Pemain yang datang dari akademi umumnya menganggap United sebagai kesebelasan favorit mereka –tentu karena kalau menyukai Liverpool ia tak akan masuk akademi MU. Ini membuat adanya “faktor x” yang membuat pemain dari akademi memiliki perasaan saling memiliki dengan klub.

Misalnya saja, dari Class of ’92, terdapat tiga pemain yang merupakan “One-club men” yakni Ryan Giggs, Paul Scholes, dan Gary Neville. Tidak mudah menjadi seorang “One-club men”. Sang pemain mestilah kompeten dengan mampu bersaing dengan pemain lain di klub, juga mesti setia dari rayuan gaji yang lebih besar.

Pemain muda dari akademi tidak akan hengkang kalau manajer punya komitmen untuk membantu pengembangan pemain muda. Dipromosikannya Marcus Rashford bukan cuma menguntungkan buat MU tapi juga untuk Inggris.

Kehadiran Rashford di lini serang sejatinya membuat MU telah memiliki slot penyerang yang terampil. Kalau dana terbatas, MU tak perlu membeli pemain lain karena Rashford sudah terbukti tajam pada musim lalu.

Sementara itu, kesebelasan negara Inggris pun diuntungkan dengan dipromosikannya Rashford. Ia, bersama dengan para pemain muda potensial lainnya seperti Harry Kane dan Delle Alli, diharapkan bisa mengubah peruntungan Inggris di turnamen internasional. Kehadiran para pemain muda membuat Inggris tak perlu takut kehilangan pemain karena dimakan usia.

Pertanyaan selanjutnya adalah apakah Jose Mourinho saat ini punya rencana yang sama seperti Van Gaal? Apakah ia akan mempercayakan slot pemain utama untuk pemain muda? Atau ia lebih memilih pemain jadi agar segera memberi United prestasi yang telah lama dinanti.

Berinvestasi di Akademi

Salah satu struktur penting di akademi adalah tim pelatih. Mereka menjadi alasan meningkatnya kemampuan seorang pemain. Dana besar bisa diinvestasikan untuk pendidikan pelatih maupun mendatangkan pelatih baru ke akademi. Pelatih bernama besar bisa jadi akan meningkatkan motivasi pemain.

Selain pelatih, United pun barangkali bisa meniru pembuatan Etihad Campus milik Manchester City di mana aktivitas tim senior terintegrasi dengan akademi. Mereka bahkan memiliki pusat pendidikan sendiri untuk menunjang para pemain. Asrama pun dibuat tepat di tepi lapangan sehingga saat bangun tidur, pemandangan yang pertama kali dilihat adalah lapangan.

Salah satu yang monumental adalah pembuatan “stadion mini” yang berisi lapangan standar dengan tribun berkapasitas 5000 penonton. “Stadion mini” ini biasanya digunakan tim perempuan, tim reserves, dan tim junior. Kehadiran tribun bisa membuat suasana lebih hidup ketimbang bermain di stadion berkapasitas 60 ribu kursi tapi kosong tanpa penonton.

Dengan meningkatkan kualitas akademi, diharapkan para pemain potensial seperti Pogba bisa didapatkan tanpa perlu secara langsung mengeluarkan biaya. Meski tak membuat kondisi finansial MU goyah, tapi sejatinya uang yang jumlahnya begitu besar bisa diinvestasikan ke hal lain yang punya pengaruh besar ke klub.

MU bisa saja menambah kapasitas Old Trafford, atau merencanakan membangun stadion baru dengan kapasitas yang lebih banyak mengingat tiket yang selalu habis sepanjang musim. MU pun bisa saja mengalihkan pengeluarannya itu untuk meningkatkan brand United itu sendiri.

Dengan pertimbangan-pertimbangan di atas, kalau United bisa mengeluarkan 120 juta paun untuk seorang pemain, mestinya United pun bisa meningkatkan kualitas akademi agar menghasilkan para pemain potensial yang siap diadu di tim utama. Dengan cara ini, MU tak akan lagi bergantung dengan membeli pemain jadi dari kesebelasan lain.

Di sisi lain, hal ini akan semakin meningkatkan pengaruh MU di Manchester maupun di Inggris; karena para orang tua akan menyekolahkan anaknya di MU karena selain bergengsi, juga mungkin dipromosikan menjadi pemain kelas dunia.