Saat itu, di final Moskow, jarum jam telah menunjukan pukul 10.45 malam, namun peluit tanda pertandingan dimulai baru terdengar di Luzhniki Stadium. Zona waktu di Moskow memang tidak biasa. Tahun ini, matahari baru terbenam pada pukul sembilan malam.

Tak hanya itu, Sir Alex Ferguson pun harus menghadapi masalah-masalah lain seperti gegar budaya di Moskow dan makanan yang kurang enak. Namun Manchester United siap menghadapi Chelsea saat itu. Chelsea penuh dengan pemain berpengalaman seperti Petr Cech, John Terry, Frank Lampard, dan Didier Drogba.

Pertandingan dimulai dan United mampu menguasai pertandingan. “Kami selalu merasa bisa menambah satu lagi gelar juara Champions Eropa sesuah 1969 dan 1999, asalkan dapat mengendalikan bola dengan cepat di Moskow, dan itu yang kami lakukan sejak awal. Permainan kami penuh semangat dan kreasi, dan kami bisa saja unggul tiga atau empat gol. Saya mulai berpikir akan terjadi pembantaian,” tulis Ferguson pada buku otobiografinya.

Ferguson memanfaatkan Cristiano Ronaldo untuk mengacak-ngacak pertahanan Chelsea. Khususnya di sisi kanan yang diisi oleh Michael Essien. Ferguson melihat Avram Grant memainkan Essien sebagai bek kanan di semifinal, lalu ia memutuskan untuk memaksimalkan kemampuan Ronaldo untuk menyusahkan Essien yang aslinya adalah seorang gelandang.

Gol pertama United berbuah dari kecerdikan Ferguson itu. Wes Brown melepas umpan silang tajam dari sisi kiri pertahanan Chelsea. Ronaldo mengalahkan lompatan Essien dan berhasil menanduk bola yang menggetarkan jala gawang Cech.

Baca juga: Menganggur, Wes Brown Berlatih di tim Divisi Lima

Hingga babak pertama usai, United tak mampu menambah keunggulan. Chelsea justru berhasil mencetak gol tak lama sebelum turun minum melalui Lampard. Ketika babak kedua akan dimulai, Ferguson melihat pemain Chelsea bermalas-malasan keluar dari ruang ganti.

“Perilaku mereka di final Moskow buruk, malas-malasan keluar dari ruang ganti pada babak kedua, menghina wasit ketika kembali ke ruang ganti. Satu tim seharusnya keluar berbarengan, bukan satu per satu dengan bermalas-malasan. Wasit sudah menyuruh mereka agar cepat, tetapi mereka mengabaikan dia. Mereka berulah pada waktu istirahat,” ujar pria asal Skotlandia itu.

Ancaman Chelsea di Final Moskow

Meski begitu, Chelsea berhasil mendominasi dan membaik pada 25 menit di babak kedua. Kondisi tersebut membuat Ferguson mencari cara agar timnya mampu kembali mengambil kendali pertandingan. Ia menggeser Wayne Rooney menjadi sayap kanan dan Owen Hargreaves ke tengah.

Meski kembali mengontrol pertandingan, United tak mampu mencetak gol kedua. Perpanjangan waktu akhirnya tak terelakan. Sebuah insiden terjadi kala Drogba bentrok dengan Carlos Tevez. Nemanja Vidic datang untuk membantu Tevez. Namun Vidic justru terlibat konfrontasi dengan Drogba. Striker asal Pantai Gading itu menowel wajah Vidic dan akhirnya diusir wasit.

Chelsea kemudian bermain defensif setelah itu dan tampak berharap hasil imbang dan berjudi di adu penalti. Sementara itu, United terus menyerang. Kekhawatiran Ferguson adalah ia memiliki rekor buruk dalam adu penalti. Sebelum laga tersebut, Ferguson hanya mencatatkan satu kemenangan dari tujuh adu penalti selamak karir kepelatihannya.

Adu Penalti di Final Liga Champions 2008

Adu penalti tersebut hampir saja menjadi kekalahan ketujuh jika Terry tidak gagal mengeksekusi penalti. Saat itu, Ferguson bahkan sudah berpikir apa yang harus ia katakan di ruang ganti setelah timnya kalah di final Liga Champions.

Penalti memasuki babak sudden death dan Anderson sukses mencetak gol. United akhirnya memenangkan adu penalti setelah Edwin Van Der Saar sukses menahan penalti Nicolas Anelka.

“Ketika menangi tendangan penalti, Nicolas Anelka dan membuat kami menjadi juara, saya nyaris tak berdiri dari bangku karena tak percaya kami menang. Saya tak bergerak beberapa lama. Cristiano Ronaldo masih terkapar sambil menangis di lapangan karena tendangan penaltinya meleset,” ungkap Ferguson.

Malam tersebut tampak menjadi salah satu malam yang akan terus diingat Ferguson. Trofi tersebut menajdi trofi Liga Champions kedua dan terakhir dalam karirnya. Tak heran jika ia menyisipkan cerita malam di Moskow itu dalam satu bab pada buku otobiografinya.

Editor: Frasetya Vady Aditya