Ada kutipan yang menyatakan bahwa kejeniusan itu hasil dari satu persen bakat sementara sisa 99 persennya adalah kerja keras; dan Antonio Conte adalah contoh nyata dari quotes tersebut.

“Saya adalah orang yang senang bekerja. Yang saya tahu hanya satu kata, yaitu bekerja, bekerja, dan bekerja lagi. Saya juga hanya tahu caranya untuk menang, bukan untuk kalah. Saya senang saat saya tahu bahwa orang-orang di Cobham, pusat pelatihan Chelsea, ini pun memiliki semangat yang sama, dan semangat kerja inilah yang akan saya terapkan di Chelsea,” begitu ujarnya.

Baca bagian pertama tentang Antonio Conte di sini.

Budaya kerja keras yang ia dapatkan sejak kecil itu menurutnya adalah sebuah keharusan dalam hidup. Kerja keras akan menghasilkan prestasi dan memang itu adanya. Suatu prinsip kuat yang ia pegang ini juga ia tularkan kepada seluruh pemainnya, di manapun ia melatih.

Kerja keras inilah yang membuat ia tak gentar dengan apapun yang ia hadapi. Ultras Italia yang ekstrem, manajemen klub yang kejam, hingga tekanan untuk meraih gelar. Karena memang, rintangan dan kerja keras tidak bisa dihitung, mereka tak terhingga. Sehingga sebesar apapun rintanngannya, kerja keras masih bisa lebih besar dan bisa mengalahkan rintangan apapun; Dan Conte selalu mengusahakan hal itu terjadi.

“Tekanan akan selalu ada. Namun, bagi saya itu adalah sesuatu yang wajar. Saya lahir dalam sebuah tekanan. Kalau Anda adalah seorang pesepakbola, manajer sebuah klub, apalagi klub sebesar Chelsea, maka tekanan itu akan selalu muncul. Tekanan untuk meraih gelar, memenangi setiap pertandingan, dan mencapai target yang telah ditetapkan pada awal musim,” kata Conte.

Rintangan juga sudah harus ia hadapi di awal kariernya bersama Chelsea. The Blues sempat gagal meraih kemenangan di tiga pertandingan beruntun, ditambah dengan kekalahan telak 0-3 atas Arsenal. Melihat ada hal yang salah, Conte tidak tinggal diam. Ia memutar otak untuk memperbaiki itu.

“Normalnya ketika kalah, sangat penting untuk memiliki pemikiran yang bagus. Berubah untuk berkembang dan menjelaskan mengapa Anda mengambil langkah tersebut. Saya memikirkannya bersama para pemain, dan kami bekerja sangat keras. Kami terus mencari cara baru untuk mengubah situasi,” tuturnya.

Kerja kerasnya juga melahirkan semangat yang luar biasa. Contoh jelasnya adalah bagaimana ia berperilaku di pinggir lapangan. Eksplosif dan emosional; seperti itulah Antonio Conte. Ia sangat jarang duduk dan mencatat, seperti halnya Louis van Gaal di United, misalnya. Conte hampir selalu meneriaki pemainnya, memastikan mereka menerapkan taktik yang ia berikan. Meski sikapnya ini sempat menuai kritikan dari Jose Mourinho, tapi ia tidak berubah sedikitpun.

Teriakan Conte dari pinggir lapangan ini memang berdampak baik bagi pemain. “Saya senang memiliki pelatih sepertinya. Jelas semua orang melihat dia di pinggir lapangan. Bagaimana dia bereaksi dan lain sebagainya. Ini memotivasi kami untuk bermain baik dan bekerja keras untuknya. Dia secara konsisten berada di telinga saya untuk memastikan saya melakukan hal yang benar dan berada di posisi yang tepat,” ujar gelandang Chelsea, Victor Moses.

Manajemen Pemain yang Luar Biasa

Conte memiliki tugas yang cukup berat: Mengembalikan Chelsea ke papan atas klasemen. Tapi pertama, ia harus meningkatkan moral pemainnya terlebih dahulu. Hal yang mustahil jika berharap Chelsea kembali ke papan atas dengan kondisi moral dan mental seperti musim lalu. Tapi jangan lupa, Conte lihai dalam urusan memotivasi. Buktinya adalah Juventus.

Dua musim beruntun sebelum Conte datang, Juve finis di peringkat ketujuh. Namun, mantan pemain yang berposisi sebagai gelandang itu datang dengan kemampuan briliannya dan mengangkat kembali harga diri klub asal Turin tersebut.  Conte berhasil membangun mental juara Juve, seperti itulah yang dikatakan Andrea Pirlo pada buku autobiografinya, I Think Therefore I Play.

“Saya telah bekerja sama dengan banyak pelatih sepanjang karier, namun Conte-lah yang paling mengejutkan. Dengan satu pidato singkat, beberapa kata sederhana, ia sudah berhasil meyakinkan saya dan seluruh skuat Juventus,” ujarnya.

Pidatonya memang luar biasa. Kurang lebih beginilah bunyinya,

Teman-teman, kita finis di posisi ketujuh pada dua musim terakhir. Ini gila, luar biasa menyebalkan. Saya datang ke sini bukan untuk hasil seperti itu. Saatnya kita berhenti bermain buruk. Kita harus melakukan segalanya untuk mengangkat performa kita dan mulai kembali menjadi Juve. Kita harus membalikkan keadaan dan ini bukan permintaan halus; ini perintah, kewajiban moral. Kalian hanya perlu melakukan satu hal dan ini sangat sederhana: ikuti kata-kata saya.”

“Dan dengar baik-baik, Nak, karena saya belum selesai. Camkan di benak kalian bahwa kita harus kembali ke level kita seharusnya, yang seharusnya tercatat dalam sejarah klub ini. Gagal mencapai tiga besar musim ini sama saja dengan tindakan kriminal. Kalian perlu marah seperti saya. Titik!”

Pidato tersebut memang sampai ke dalam benak penggawa Juve. Mental juara yang telah lama hilang akhirnya kembali. Ruang ganti Juve sukses ia ubah menjadi ruang ganti yang membenci kekalahan, seperti itulah yang dikatakan Gianluigi Buffon. Hasilnya memang tidak main-main, Juve mampu keluar sebagai kampiun Serie A selama tiga musim berturut-turut.

Pendekatannya terhadap pemain juga patut diberi pujian. Tidak terlalu keras, tapi tidak terlalu lembut. Baru-baru ini, muncul video yang memperlihatkan Diego Costa sedang minum bir di ruang ganti Chelsea setelah kemenangan atas West Brom. Conte sendiri tidak terlalu mempermasalahkan itu. Ia cenderung percaya kepada pemainnya.

“Saya memiliki sekumpulan pemain profesional. Sebagai manajer, saya tidak perlu berkata, ‘Jangan lakukan ini, jangan lakukan itu’. Saya tahu mereka memiliki sikap yang profesional terkait situasi ini (minum alkohol),” imbuhnya.

Berbicara ke aspek yang lebih sepakbola, Conte juga piawai dalam memanfaatkan kelebihan pemainnya. Emmanuel Giaccherini dan Victor Moses adalah buktinya. Kedua pemain tersebut bukan pemain yang bertalenta luar biasa, tapi Conte mampu memaksimalkannya dan memberi peran yang sesuai sehingga mereka bisa bermain bagus. Kiprahnya bersama Timnas Italia, yang tidak berisi pemain top, juga menjadi bukti bagaimana kepintaran Conte dalam memanfaatkan pemainnya.

Tidak Ada Toleransi Terhadap Kekalahan!

Semua orang memang pasti membenci kekalahan, tapi mungkin Conte adalah salah satu yang benar-benar membencinya. Jika mengalami kekalahan, ia akan sangat marah. Pada Piala Eropa 2016, ia pernah meneriaki pemainnya dengan kalimat ‘Saya akan membunuh kalian!’ ketika Romelu Lukaku hampir mencetak gol. Ia juga pernah melakukan hal serupa di Juventus.

Conte tidak bisa menerima kekalahan dengan alasan apapun, bahkan jika sudah bermain bagus sekalipun. Ia tidak memandang kekalahan sebagai dinamika sepakbola. Pemikiran ini jugalah yang membuat ia mengubah taktiknya setelah dihajar Arsenal. Dan setelah sukses meraih kemenangan beruntun, Buffon mengeluarkan pernyataan menarik.

“Itu tidak mengejutkan saya. Dia (Conte) adalah seorang pemenang. Dia tidak mengenal peringkat kedua. Saya yakin dia bekerja keras di balik layar untuk membuat para pemainnya bermain maksimal,” tuturnya.

Orientasi Terhadap Hasil Akhir

Pelajaran ini sepertinya ia terima saat dikritik habis oleh Ultras yang memang terkenal tak pandang bulu dalam meneror. Suporter di Italia bisa sangat kejam terhadap pemainnya sendiri jika tidak memberi kemenangan.

Gianluca Vialli pernah meledek supporter di Inggris yang menepuk-tangani pemainnya setelah melepaskan tendangan melebar jauh dari gawang. Di Italia, hal seperti itu tidak akan terjadi. Adalah hal yang biasa jika supporter di Italia menatap sinis pemainnya yang melepaskan tembakan saat rekannya berada di posisi yang baik. Boro-boro tepuk tangan.

Pelajaran itu akan sangat diingat olehnya. Oleh karena itu, ia sangat mementingkan kemenangan. Apapun caranya, apapun taktiknya, tim yang dia besut harus meraih kemenangan.

Segala hal ia lakukan agar timnya dapat menampilkan permainan yang berbuah kemenangan. Mengadakan sesi analisis video untuk pemain, menjejali pemain dengan informasi dan statistik lawan, memenuhi ruang makan dengan poster berisi jumlah kalori yang harus dikonsumsi, sangat spesifik dalam sesi latihan taktik, dan bersemangat dalam membuat pemain memberi kemampuan maksimalnya.

Perbedaan kultur sebenarnya sempat menabraknya. Di Inggris, pemain tidak terbiasa dengan beberapa hal yang biasa ia lakukan. Namun, karena menurutnya itu akan mendatangkan kemenangan, kultur itu tetap akan ia terapkan.

“Saya juga masih harus bekerja keras untuk menanamkan apa yang saya inginkan di sini. Di Italia, para pemain sudah terbiasa dengan sesi video dan juga pembelajaran mengenai taktik. Di sini para pemain belum terbiasa akan itu, tapi kami siap melakukannya. Tujuannya? Supaya pemain saya tidak merasakan pahitnya kekalahan dan kegagalan,” ujarnya.

Kemenangan sendiri dapat diraih jika sebuah tim mampu mengungguli lawannya. Seperti itulah prinsip dasar Antonio Conte. Yang penting bisa mengungguli lawan, bukan taktik apa yang digunakan. Ia memiliki formasi favorit, gaya main favorit, tapi jika itu semua tidak menghadirkan kemenangan, ia tak akan segan menggantinya. Karena itulah ia memiliki banyak taktik cadangan yang membuatnya kaya dari segi taktikal.

Conte adalah pelatih yang terobsesi dengan taktik. Tapi tujuannya bukan untuk bermain indah seperti Pep Guardiola (dulu ketika di Barcelona), tapi untuk meraih kemenangan semata. Karena itulah, ia rela mengotak-atik taktik bakunya, merubahnya sedemikian rupa yang dipadukan dengan kelemahan lawan agar bisa memenangkan pertandingan. Ia selalu memikirkan taktik, karena taktik-lah yang akan memberi kemenangan.

Antonio Conte memang luar biasa bukan?