Jauh dari kata sepakbola, eks bek kanan dan kapten Manchester United, Gary Neville, ternyata berubah haluan menjadi pebisnis hotel. Dilansir dari The Guardian bersama Ryan Giggs, Neville merestorasi sebuah bangunan tua untuk menjadi hotel, flat, dan juga restoran dalam satu kawasan bernama St Michael. Rencana tersebut diperkirakan sudah dimulai sejak tahun 2015 tersebut, namun terhenti setelah adanya sebuah protes dari para tunawisma.

Protes terjadi lantaran bangunan tersebut sudah dipakai mereka menjadi tempat tinggal sementara. Apalagi saat keputusan bahwa Neville dan Giggs mendapat izin untuk merestorasi, musim dingin sudah dimulai. Sehingga aksi protes dimulai, tetapi alih-alih mengusir justru Neville memperbolehkan mereka untuk tinggal di gedung tersebut selama musim dingin berlangsung.

Wesley Hall seorang aktivis hak asasi manusia yang memimpin protes, mengatakan bahwa ia langsung menitikkan air mata begitu Neville memperbolehkan mereka untuk tinggal. Di mana menurut ingatan Wesley, saat itu Neville mengatakan bahwa dirinya selalu berempati kepada para tunawisma dan tidak masalah hotel tersebut dipakai para aktivis untuk tempat tinggal para tunawisma selama musim dingin.

“Terima kasih banyak, kamu tidak tahu seberapa besar yang kamu lakukan untuk kami,” kata Hall berulang kali kepada Neville.

Sontak setelah keputusan tersebut, media-media massa kala itu langsung melabeli proyek Neville dan Giggs sebagai “Hotel untuk Tunawisma”.

Neville memberikan mereka waktu untuk tinggal selama lima bulan di asetnya tersebut dan kemudian mengatakan bahwa ini adalah proyek yang berhasil. Meskipun menurut The Guardian karena keputusannya tersebut, ia harus merogoh kocek sekitar 150 ribu paun atau sekitar 2.5 miliar rupiah.

Kemudian, Neville juga merasa bangga bahwa keputusannya tersebut berhasil membuat beberapa tunawisma sembuh dari penggunaan narkoba dan bisa menemukan jalan kembali menjadi warga negara pada umumnya.

Eks manajer Valencia tersebut menolak bahwa apa yang dilakukan olehnya adalah untuk perbaikan citra saja atau meraih simpati. Lantaran dalam rancangan proyek tersebut, ternyata Neville dikatakan akan merusak peninggalan budaya atau bangunan sejarah masyrakat setempat, yaitu salah satunya sebuah pub (tempat minum ala orang Inggris) bernama Sir Ralph Abercombie.

“Kami melakukan apa yang kami percaya adalah hal yang benar untuk dilakukan selama 5 bulan. Bukan untuk apapun kecuali tulus untuk kebaikan. Kami berjalan di sekeliling kota, kami tahu orang-orang itu, kami bicara dengan mereka, dan salah rasanya kalau membiarkan mereka di jalanan saat kami punya gedung yang tak digunakan selama 5 bulan,” kata Neville.

Keputusan tersebut jua membuat Neville memahami apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh para tunawisma. Dimana ia belajar bahwa para tunawisma sebenarnya tak hanya menginginkan rumah, tetapi juga perhatian dan bahkan pelukan.

“Mereka tak ingin menjadi seperti ini. Mereka terjebak, ini isu yang kompleks. Bukan hanya perihal mencarikan seseorang rumah. Apa yang kami temukan selama 5 bulan ternyata lebih dalam. Kadang mereka memerlukan bimbingan,” lanjut Neville.

Eks pemain Timnas Inggris mengatakan tak mustahil untuk tetap bisa memperhatikan jumlah besar para tunawisma di Manchester dan sekaligus kurangnya hotel bintang lima di kota tersebut.

“Setiap kota punya tantangannya tersendiri, apakah itu perumahan yang masuk di kantong, tunawisma, kebutuhan meningkat akan standar pelayanan, atau tempat bintang lima untuk tinggal,” kata Neville.

Proyek bangunan yang sempat menjadi kontroversi tersebut tampaknya akan tetap berlangsung dalam waktu dekat. Setelah Neville menunjuk arsitek baru yaitu Stephen Hodder untuk merombak rancangan bangunan tersebut.

Di mana sebelumnya, rancanan bangunan yang lawas dianggap sebagai salah satu rancangan yang kacau dalam decade ini oleh Badan Peninggalan Budaya setempat.

Dalam rancangan yang baru ini, Neville tetap akan membangun apartemen mewah, hotel bintang lima, perkantoran dan sebuah restoran. Kemudian jua memboyong sebuah pub yang sebelumnya dianggap sakral oleh masyarakat setempat dan menaruhnya ditengah-tengah proyek tersebut. Ditambah dengan sebuah taman publik.

“Jelas awalnya kami salah menilai, bukan mengenai bangunan dari pub tersebut, tapi kami melupakan nilai sosial masyarakat yang tertanam di pub tersebut,” terang Neville.

 

Editor: Frasetya Vady Aditya
Sumber : The Guardian